Jumat, 20 Juli 2012

makalah

BAB I
PENDAHULUAN


1.1  Latar Belakang Masalah
Penulis ingin tahu sejauhmana guru mendidik anak didiknya untuk sukses. Ukuran sukses memang sangat mungkin berbeda antara satu orang dengan orang lain. Namun hampir dapat dipastikan bahwa semua orang akan mempunyai pandangan yang sama, yakni bahwa setiap orang akan senang jika anaknya menjadi pandai dan bermanfaat. Oleh karena itu penulis terdorong untuk mengangkat judul tersebut.

1.2  Rumusan Masalah
1.2.1        Menjelaskan tujuan pendidikan
1.2.2        Menjelaskan pendidikan agama untuk perbaikan hidup
1.2.3        Menjelaskan pendidikan agama, etika sosial dan perilaku sehari-hari
1.2.4        Menjelaskan pembiasaan yang perlu dilakukan
1.2.5        Menjelaskan pembiasan berpikir kritis dan inovatif
1.2.6        Menjelaskan aspek-aspek dalam pembelajaran
1.2.7        Menjelaskan cara kita menghargai guru
1.2.8        Menjelaskan peran dan tanggung jawab para pendidik
1.2.9        Sharing experience
1.2.10    Fungsi sekolah / madrasah
1.2.11    Menjelaskan tentang hubungan madrasah dengan orangtua murid
1.2.12    Menjelaskan hubungan sekolah / madrasah dengan masyarakat

1.3  Tujuan
Penulis mempunyai tujuan tertentu mengapa penulis mengangkat judul ini, diantaranya ;
1.      Penulis ingin tahu bagaimana guru bisa menciptakan madrasah / sekolah untuk mendidik sukses masa depan
2.      Sejauhmana pendidikan agama ditanamkan dalam pendidikan sekolah
3.      Untuk mengetahui upaya apa saja yang dilakukan untuk mendidik anak sukses
4.      Aspek apa saja yang harus dilakukan
5.      Sejauhmana guru bisa berperan dalam mendidik anak didiknya
6.      Ingin mengetahui sejauhmana hubungan guru, orangtua, dan masyarakat dalam pendidikan

1.4  Sistematika Penulisan
BAB II ISI
2.1        Mendidik Untuk Sukses                 
2.2        Menciptakan Masyarakat atau Sekolah untuk Mendidik Anak Sukses Masa Depan                     
2.3        Tujuan Pendidikan (Iman, Taqwa) dan Civic Education               
2.4        Pendidikan Agama Untuk Perbaikan Hidup                      
2.5        Pendidikan Agama, Etika Sosial dan Perilaku Sehari-hari             
2.6        Pembiasaan yang Perlu Diwujudkan                      
2.7        Membiasakan Berpikir Kritis dan Inovatif
2.8        Empat Aspek, Reading, Writing, Speaking & Listening                
2.9        Mati Kita Menghargai Guru                       
2.10    Peran dan Tanggung Jawab Para Pendidik
2.11    Sharing Experience             
2.12    Kepala Sekolah / Madrasah                        
2.13    Hubungan Madrasah dengan Orangtua Murid                   
2.14    Hubungan Madrasah / Sekolah dengan Masyarakat                       



BAB II
PEMBAHASAN

2.1        Mendidik Untuk Sukses
2.2        Menciptakan Masyarakat atau Sekolah untuk Mendidik Anak Sukses Masa Depan
Kesuksesan belajar anak didik merupakan keinginan dan tujuan setiap orang tua. Untuk itu, perlu diuraikan upaya apa saja yang harus dilakukan, baik oleh madrasah/sekolah maupun oleh orang tua, bahkan juga oleh masyarakat. Bagaimana caranya untuk mendidik anak menjadi anak yang sukses, yakni pandai dan bermanfaat.

2.3        Tujuan Pendidikan (Iman, Taqwa) dan Civic Education
Tujuan pendidikan nasional seperti termaktub dalam Undang-Undang No. 2 tahun 1989 disebutkan sebagai berikut: “Pendidikan Nasional bertujuan mencerdaskan kehidupan bangsa dan mengembangkan manusia Indonesia seutuhnya, yaitu manusia yang beriman dan bertaqwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan berbudi pekerti luhur, memiliki pengetahuan dan keterampilan, kesehatan jasmani dan rohani, kepribadian yang mantap dan mandiri serta rasa tanggung jawab kemasyarakatan dan kebangsaan”.
Kata kunci yang patut diperhatikan dari tujuan pendidikan nasional tersebut adalah kata taqwa. Sebagai kata kunci yang banyak disebut dalam Al-Qur’an sebenarnya kata taqwa mengacu pada makna “merasakan kehadiran Tuhan dalam keseharian manusia”. Namun, sayangnya pemaknaan ini seringkali berbeda dengan pelaksanaan di tingkat realitas. Taqwa dalam praktek pendidikan nasional kita sering diungkapkan hanya sebagai suplemen yang formal, tanpa ada keseriusan untuk memahami dan mendalami maknanya dan kemudian mempraktekkannya.
Faktor lain adalah kebanyakan ahli kurikulum pendidikan, termasuk pendidikan agama, dan para pembuat kebijakan pendidikan belum berpikir ke arah sana. Mestinya dengan adanya perubahan UUD 1945, terutama sekali yang berkaitan dengan pendidikan, maka perhatian itu harus serius. Penjabaran taqwa ke dalam proses pembelajaran telah tercerabut dari akar maknanya.
Mari kita perhatikan salah satu ayat al-Qur’an yang menyebutkan ciri-ciri taqwa, sebagaimana dalam surat al-Baqarah [2]:177 yang terjemahnya sebagai berikut:
Bukanlah menghadapkan wajahmu ke arah timur dan barat itu sebagai suatu kebajikan. Kebajikan itu sesungguhnya adalah beriman kepada Allah, hari kemudian, malaikat-malaikat, kitab-kitab, nabi-nabi; memberikan harta yang dicintainya kepada kerabatnya, anak-anak yatim, orang-orang miskin, musafir (yang memerlukan pertolongan), dan orang yang meminta-minta; [memerdekakan] hamba sahaya, mendirikan shalat, dan menunaikan zakat; orang yang menepati janjinya apabila ia berjanji; dan orang-orang yang sabar dalam kesempitan, penderitaan dan peperangan. Mereka itulah orang-orang yang benar [imannya] dan merekalah orang yang be taqwa”.
Ciri-ciri taqwa pada ayar tersebut bukan hanya terletak pada hubungan antara manusia dengan Tuhannya (berupa penegasan simbol dan praktek ritual), tetapi juga meliputi masalah-masalah yang berkaitan langsung dengan kemanusiaan, membantu orang lain, merelakan sebagian hartanya untuk didermakan kepada orang yang memerlukan, dan sebagainya. Salah satu ciri yang jarang sekali – kalau tidak disebut hampir tidak pernah – dibahas baik di dalam pengajian maupun di dalam praktek pendidikan kita adalah “menepati janji” (wa al-mufuna bi-‘ahdihim idza ‘ahadu). Padahal dalam ajaran Islam janji adalah masalah serius sehingga ada hadits Nabi bahwa janji itu sama dengan hutang – yang harus dibayar. Agar seseorang menepati janji, ia harus mempunyai rasa respek terhadap orang yang ia beri janji (tidak meremehkan).
Jika tujuan pendidikan mengacu pada makna taqwa seperti ini maka penjabarannya ke dalam rumusan operasional merupakan keharusan. Tujuan pendidikan seperti didefinisikan oleh para ahli pendidikan memang bermacam-macam, namun yang terpenting dapat penulis sebutkan sederhana, misalnya “mendidik seseorang untuk menjadi insan yang baik, sehingga secara otomasis menjadi warga negara yang bermanfaat”.
Tujuan pendidikan yang jelas akan mengarahkan guru untuk mendidik siswa agar menjadi insan yang baik berarti menjadi warga negara yang baik pula.

2.4        Pendidikan Agama Untuk Perbaikan Hidup
Sering terjadi salah paham diantara kita karena menganggap bahwa pendidikan agama Islam hanya memuat pelajaran yang berkaitan dengan akhirat atau kehidupan setelah mati. Bahkan ada yang berlebihan kesalahannya karena menganggap bahwa madrasah hanya mendidik anak untuk siap meninggal dunia, dengan konsekuensi negatif: (a) bahwa bekerja keras untuk mengejar keduniaan tidak diperlukan; dan (b) lebih fatal lagi bahwa pendidikan agama untuk mempersiapkan diri sewaktu-waktu meninggal dengan cara apapun, termasuk bunuh diri. Yang benar adalah bahwa madrasah, atau lebih umum lagi pendidikan agama, dilaksanakan untuk memberi bekal siswa dalam mengarungi kehidupan di dunia yang hasilnya nanti mempunyai konsekuensi di akhirat.

2.5        Pendidikan Agama, Etika Sosial dan Perilaku Sehari-hari
Pendidikan agama tidak cukup hanya menghafal ajaran-ajaran atau teori-teori, tidak cukup ditulis dan dihafal oleh murid kemudian ditagih melalui ujian tertulis. Kelemahan pengajaran akhlaq di masrasah/sekolah selama ini karena terjebak pada verbalisme atau cognitive oriented, bukan penanaman nilai.
Dalam konteks etika sosial, contoh ketika mengajarkan surat al-Ma’un. Dalam praktek pengajarannya, akan lebih baik jika anak didik diajak melihat langsung obyek ayat tersebut, yaitu anak yatim dan orang miskin. Misalnya anak diajak mengunjungi panti asuhan, panti jompo, korban pengungsian, anak-anak jalanan, untuk berdialog dengan mereka. Pembelajaran yang memberikan pengalaman langsung terhadap situasi dimana ada orang yang wajib dibantu akan jauh lebih mengena bagi anak dibandingkan dengan hanya ceramah di depan kelas.
Tugas-tugas seperti model portofolio bisa menjadi media membiasakan anak didik untuk saling tolong menolong, mengerti orang lain, memuliakan orang lain, fair dan toleran. Dalam tindak lanjutnya mempraktekkan apa yang biasa disebut dengan voluntarisme atau philanthropy.

2.6        Pembiasaan yang Perlu Diwujudkan
Pembiasaan merupakan proses pendidikan. Aspek ini sering dilupakan oleh para pendidik bahkan juga oleh sebagian ahli pendidikan. Pendidikan yang instant berarti meniadakan pembiasaan. Tradisi dan bahkan juga karakter (perilaku) dapat diciptakan melalui latihan dan pembiasaan.
Pembiasaan bukan hanya dalam masalah agama saja, tetapi juga aktivitas kehidupan sehari-hari. Kebersihan – termasuk dapat diawali dengan landasan ajaran agama – merupakan praktek yang perlu pembiasaan, meskipun pada awalnya harus dipaksakan.
Berikutnya, kalau aktivitas itu sudah menjadi kebiasaan, ia akan menjadi habit (kebiasaan yang sudah dengan sendirinya, dan bahkan sulit untuk dihindari). Ketika menjadi habit, ia akan selalu menjadi aktivitas rutin.
Pembiasaan ini bukan saja untuk pendidikan formal, namun juga kehidupan sehari-hari di keluarga dan masyarakat. Jelaslah bahwa implementasi nilai-nilai yang berkaitan dengan etika sosial haruslah diadakan pembiasaan, tidak cukup hanya menghafal rangkaian pasal atau ungkapan mengenai etika sosial.

2.7        Membiasakan Berpikir Kritis dan Inovatif
Pendidikan formal, terutama sistem persekolahan, kurang memberikan ruang yang cukup bagi siswa untuk mengemukakan pendapat dan penggunaan daya nalar yang bebas. Sebaliknya kerapkali pola pendidikan kita cenderung mengekang perkembangan pemikiran anak. Akibatnya, kreativitas, apalagi inovasi, bukan saja kurang berkembang namun bahkan sampai pada titik nadir, tidak muncul. Ini salah satu kelemahan dan sekaligus sebab mengapa pendidikan kita jauh dari hasil yang kita harapkan. Seharusnya daya kreativitas dan inovasi ditumbuhkan dan dikembangkan sejak di sekolah – bahkan sistem pendidikan formal kita harus mampu mengembangkan dan mendorong ke arah sana. Siswa akan dianggap hebat jika sudah sanggup berpikir kritis dan kreatif. Terlebih jika ia sudah mulai mampu menciptakan sesuatu yang dapat disebut sebagai hasil inovasinya. Hanya pertumbuhan dan perkembangan kreativitas, kritis dan inovasi bagi siswa yang akan sanggup mengantarkan mereka ke kancah persaingan bebas dalam era globalisasi. Kita harus sadar bahwa ciri utama globalisasi adalah persaingan bebas.
Bagaimana cara menanamkan atau membiasakan sikap kreatif, kritis dan inovatif? Untuk anak kecil bisa dengan menggunakan mainan atau cara bermain, dongeng/cerita, dan lainnya. Biasanya anak akan senang sekali jika mendapatkan sesuatu, misalnya membongkar-bongkar kasur, pakaian atau mainan apa saja. Dalam konteks pendidikan, kondisi ini harus ditumbuhkan, bukan dimatikan, artinya guru perlu memikirkan bagaimana cara menumbuhkan kreativitas murid dengan menyediakan dan “membiarkan” keingintahuan mereka tumbuh dan berkembang secara wajar dan alami, tanpa ada gangguan.

2.8        Empat Aspek, Reading, Writing, Speaking & Listening
Ketika belajar bahasa ada empat aspek yang harus mendapatkan penekanan; yaitu speaking (berbicara), reading (membaca), writing (menulis), dan listening (mendengarkan). Artinya, seseorang akan dianggap mampu berbahasa suatu bahasa tertentu jika sudah menguasai keempat aspek dari bahasa tersebut. Kalau kita perhatikan, sebenarnya keempat aspek itu bukan hanya untuk pelajaran bahasa, namun juga bisa digunakan secara umum dalam proses pembelajaran, bahkan juga mencakup pendidikan kepribadian. Artinya, setiap siswa hendaknya menguasai keempat aspek tersebut. Lebih dari itu, aspek-aspek tersebut juga mengajarkan karakter atau kepribadian dan dalam beberapa hal juga intelektual/logika.
Aspek pertama adalah speaking. Aspek ini bukan hanya sekedar dapat mengucap, namun hendaknya juga mengajarkan berbicara yang santun, mengajarkan berbicara yang argumentatif serta berbicara tepat atau proporsional.
Tahap berikutnya adalah kemampuan membaca siswa di dalam hari, tanpa perlu melafalkan bunyi huruf kalimat. Ketika siswa telah mampu membaca cepat (speed reading). Tampaknya, sampai sekarang belum ada pelajaran membaca cepat bagi anak sekolah di tingkat dasar (MI/SD) atau menengah. Padahal di negara-negara maju aspek ini diajarkan.
Di samping speaking dan reading, perlu pula mendapatkan perhatian serius, sebagai aspek ketiga, pelajaran bagaimana menulis yang baik dan benar atau writing (penekanannya bukan pada “menulis indah” [khath], sebagai bagian dari seni). Menulis sebenarnya merupakan ungkapan diri sendiri. Melalui tulisanlah, seseorang atau anak didik dapat mengekspresikan perasaan, menajamkan daya nalar dan memperhalus budi. Untuk dapat menulis dengan baik diperlukan pengetahuan tentang tata bahasa (grammar).
Aspek keempat yang perlu mendapatkan perhatian serius pula adalah kemampuan mendengarkan (listening). Yang dimaksudkan dengan listening disini tidak kebalikan dari tuli. Ini artinya bahwa anak dapat memahami isi dan maksud orang lain yang ia terima melalui pendengaran, baik diucapkan oleh orang lain atau disampaikan dalam berita radio atau televisi. Kini tampaknya tidak ada jaminan bahwa anak kelas V MI/SD dapat faham betul ketika mendengarkan berita di radio atau televisi. Karena itu, kemampuan mendengarkan perlu diajarkan dan dipraktekkan. Barangkali perlu ada kebiasaan tugas laporan tertulis dari hasil mendengarkan radio atau televisi. Atau ada laporan dari hasil mendengarkan ceramah umum atau khutbah.

2.9        Mati Kita Menghargai Guru
Penghargaan terhadap guru bukan sekedar tuntutan para guru, namun merupakan kewajiban kita untuk melakukannya. Sejelek-jelek guru, mereka sudah berbuat untuk anak-anak kita. Dalam tradisi Islam, ustadz (biasanya diartikan dengan guru ngaji).
Penghargaan  terhadap guru bukan hanya dengan ungkapan atau pernyataan ucapan lisan, seharusnya nasib guru pun diperhatikan serius oleh pemerintah dan masyarakat kita.

2.10    Peran dan Tanggung Jawab Para Pendidik
Kalau uraian di atas alamatnya, terutama sekali, kepada selain guru untuk menghargai guru, maka di sini alamatnya adalah guru itu sendiri. Di satu sisi, kita harus menghargai guru; namun di sisi yang lain guru kita juga harus bertindak sebagai guru yang baik sehingga penghargaan akan datang. Guru adalah pendidik bukan buruh, sehingga aturan hukumnya juga hendaknya tidak disamakan dengan peraturan mengenai buruh. Apapun upaya yang dilakukan untuk menghargai guru, jika guru kita tidak menjalankan peran guru yang sebenarnya ditambah sifat-sifat yang lainnya, penulis kita sulit untuk menciptakan kondisi agar kita menghormati dan menghargai guru.
Guru memiliki peran yang besar, terutama sekali bagi murid SD/MI. dalam pandangan masyarakat pun semula demikian, sehingga ada istilah seperti guru sebagai contoh dan panutan (Jawa: digugu lan ditiru). Di dunia modern dan sekular pun peran guru sangat besar. Guru dituntut untuk mampu menjadi caregiver (pengemong/pembimbing), role model (contoh), dan mentor (penasehat). Tiga peran ini juga sudah menjadi keyakinan hampir semua orang meskipun penjabaran dan realisasinya kini sering kurang mendapatkan perhatian.
1.      Caregiver (Pengemong/pembimbing)
Ada beberapa hal yang tidak boleh dilakukan oleh guru, antara lain:
a.       Tidak boleh meremehkan/merendahkan murid.
b.      Tidak boleh memperlakukan kurang adil terhadap sebagian murid.
c.       Tidak boleh membenci kepada sebagian murid.
2.      Model (Contoh)
Gerak-gerik guru sebenarnya selalu diperhatikan oleh setiap murid. Tindak tanduk, perilaku, dan bahkan gaya guru mengajarpun akan sulit dihilangkan dalam ingatan setiap murid. Lebih besar lagi karakter guru juga selalu diteropong dan sekaligus dijadikan cermin oleh murid-muridnya. Pada intinya, guru dijadikan cermin oleh muridnya: apakah yang baik ataupun yang buruk. Kedisiplinan, kejujuran, keadilan, kebersihan, kesopanan, ketulusan, ketekunan, kehati-hatian akan selalu direkam oleh murid-muridnya dan dalam batas-batas tertentu akan diikuti oleh murid-muridnya. Demikian pula sebaliknya, semuanya akan menjadi contoh bagi murid.
Kita tahu bahwa kebaikan guru akan menjadi contoh meskipun dalam prakteknya cukup sulit. Sedangkan kejelekan guru akan dengan mudah diikuti oleh murid-muridnya. Berbicara mengenai contoh, memang lebih dominan hal-hal yang berkaitan dengan nilai-nilai moralitas. Adalah wajar dan benar pepatah “guru kencing berdiri, murid kencing berlari”. Artinya, jika ada guru yang mempunyai perilaku jelek sedikit, murid akan mencontohnya dengan mempunyai perilaku jelek lebih banyak lagi. Disinilah, peran guru sebagai contoh sangat penting dan mengukir bagi tiap-tiap murid.
3.      Mentor (Penasihat)
Dengan adanya hubungan batin atau emosional antara murid dan gurunya, maka sekaligus guru mempunyai peran sebagai penasihat (mentor). Cara bagaimana guru memberi nasihat kepada muridnya, tergantung tuntutan dan tergantung pula kemahiran guru memberikannya. Mungkin langsung, secara pribadi, mungkin lewat surat, mungkin dengan cara lain lagi. Yang penting, ketika guru memberi nasihat kepada muridnya tidak dalam kondisi meremehkan atau menjelekkan murid, yang mengakibatkan murid merasa dihina atau dipermalukan.
Di samping peran guru sebagai caregiver, role model, dan mentor tersebut di atas, ada beberapa sifat yang harus dimiliki oleh guru, jika ingin pendidikan kita sukses. Sifat-sifat guru itu meliputi antara lain: 1) memahami perannya sendiri, 2) tulus, 3) bangga dan puas jika melihat anak didik sukses, 4) sabar, 5) tekun (telaten), 6) paham dan menguasai apa yang diajarkan,    7) selalu belajar, 8) ada panggilan untuk mendidik, 9) kerja keras, dan sebagainya. Dengan sifat tulus, seorang guru akan dengan senang hati mendidik murinya.
Tidak mustahil seorang guru pada awalnya kurang tertarik menjadi guru. Mungkin juga beranggapan bahwa profesi guru mengandung unsur-unsur yang kurang baik, yang sangat berpengaruh terhadap kinerja sebagai guru. Lalu bagaimana untuk mengubah dirinya? Ada beberapa cara yang dapat dicoba, antara lain:
a.       Menata niat kembali untuk menjadi guru yang baik
b.      Menyadari perannya sebagai guru
c.       Berusaha menjadi guru yang baik dan bermanfaat
d.      Melaksanakan pekerjaan sebagai guru adalah ibadah.

2.11    Sharing Experience
“Menjadi guru yang baik” bukanlah hal gampang. Selain memiliki kompetensi moral dan personal sebagaimana disinggung di atas, guru mesti memiliki kompetensi profesional.
2.12    Kepala Sekolah / Madrasah
Kalau guru harus memiliki jiwa sebagai pendidik, kepala sekolah seharusnya memiliki nilai lebih dari itu. Kepala madrasah/sekolah juga harus mempunyai beberapa peran dan sifat di atas. Nilai inilah yang sebenarnya menggerakkan dan menjadi “ruh” kemajuan madrasah/sekolah, bukan semata-mata dari performance (penampilan) fisik sekolah.

2.13    Hubungan Madrasah dengan Orangtua Murid
Akhir-akhir ini sering dikeluhkan seolah-olah madrasah terpisah dari orang tua murid karena kurang ada komunikasi dan kerja sama.
Sesungguhnya madrasah memiliki potensi yang besar untuk membangun hubungan yang komunikatif dengan orang tua murid karena orang tua murid madrasah biasanya percaya terhadap madrasah dan masih mempunyai hubungan erat dengan anak-anaknya, meskipun dalam hal kebutuhan pendidikan-terutama sekali pendanaan – kurang memperhatikan yang disebabkan oleh kurangnya kemampuan dari segi keuangan. Ada beberapa contoh langkah yang perlu diambil dalam hubungan madrasah/sekolah dengan orang tua murid (ini tampak kesuksesan, terutama sekali bagi orang tua yang mempunyai perhatian terhadap kesuksesan belajar anaknya):
1.      Orang tua murid dilibatkan dalam pembinaan kepribadian murid.
2.      Orang tua murid dilibatkan dalam kehidupan di luar madrasah/sekolah.
3.      Orang tua murid dilibatkan dalam proses pembelajaran dalam menyelesaikan Pekerjaan Rumah (PR) atau tugas-tugas lainnya.
4.      Orang tua dilibatkan untuk ikut memikirkan kemajuan anak-anaknya.
5.      Orang tua ikut membimbing dan membina anaknya sejalan dengan program madrasah/sekolah.

2.14    Hubungan Madrasah / Sekolah dengan Masyarakat
Keberhasilan pendidikan madrasah di daerah tertentu pada dasarnya juga keberhasilan masyarakat di daerah tersebut. Ini akan berdampak langsung kepada para tokohnya dan para pejabatnya. Yang harus dilakukan oleh kepala madrasah adalah melakukan upaya-upaya agar masyarakat bersedia terlibat secara langsung untuk ikut bertanggung jawab terhadap kemajuan madrasah.
Contoh upaya yang dapat dilakukan, antara lain adalah sebagai berikut:
1.      Sosialisasi kepada para pimpinan formal, meliputi eksekutif dan legislatif.
2.      Melibatkan para pejabat daerah (eksekutif dan legislatif) untuk ikut memiliki madrasah.
3.      Menunjukkan program langsung, di samping mendidik anak-anak daerah, seperti menunjukkan prestasi murid dan guru madrasah atau keberhasilan madrasah secara keseluruhan.
Madrasah hendaknya selalu meningkat kerjasama dengan masyarakat. Meskipun saat ini secara birokrasi (administrasi) sentralisasi, oleh karena madrasah dianggap bagian dari Departemen Agama, madrasah tetap dapat melakukan madrasah-based management (manajemen berbasis madrasah) dan community-based education (pendidikan berbasis masyarakat). Melibatkan masyarakat adalah penting terutama berkaitan dengan perkembangan kurikulum lokal dan muatan kompetensi dasar.



BAB III
KESIMPULAN


Kesuksesan belajar anak didik merupakan keinginan dan tujuan setiap orang tua, oleh karena itu, agar anak didik nantinya menjadi anak yang sukses, yakni pandai dan bermanfaat.
Dalam pendidikannya harus menentukan terlebih dahulu tentang tujuan pendidikan, serta pendidikan seperti apa yang layak diberikan, juga guru pun harus berperan sebaik mungkin.
Jadi, anak didik akan tumbuh jika sekolahnya memenuhi kriteria tadi di atas, dan anak didik pun akan menjadi anak yang sukses, pandai dan bermanfaat bagi masyarakat, negara dan bangsa.



DAFTAR PUSTAKA


·         Muhammad Tholhah Hasan. Islam dan Sumber Daya Manusia. Lantabora Press, Jakarta : 2007
·         Gulo W. Strategi Belajar Mengajar. PT. Grasindo, Jakarta : 2002
·         Azizy A Qodry. Pendidikan (Agama) Untuk Membangun Etika Sosial. Aneka Ilmu, Jogjakarta : 2002


KATA PENGANTAR


Segala puji dan syukur kita panjatkan kepada Allah SWT. Rabb seluruh alam, atas segala nikmat dan karunia-Nya. Shalawat dan salam semoga tetap tercurah limpahkan kepada Nabi Kita, yakni Nabi Muhammad SAW. Semoga Allah memberkati beliau, keluarga, sahabat-sahabat-Nya serta seluruh umat yang telah mengikuti petunjuk-Nya.
Alhamdulillah, alhamdulillah, berkat rahmat petunjuk serta izin-Nya penulis dapat membuat dan menyelesaikan Makalah yang berjudul. “Mendidik Untuk Sukses” yang merupakan salah satu tugas Mata Kuliah Bahasa Indonesia.
Dalam penyusunan makalah ini penulis menyadari banyak sekali kekurangannya baik dalam segi penulisan, penyusunan penyusunan ataupun pembahasannya. Karena penulis sadari, bahwa masih banyak kekurangan dalam diri penulis, sehingga dalam penulisan, penyusunan dan pembahasannya belumlah mencapai sempurna.
Oleh karena itu, saran dan kritikan yang membangun sangat penulis harapkan dalam hal ini. Meskipun demikian, mudah-mudahan ada manfaat serta pelajaran yang dapat diambil dari penyusunan makalah ini.
Demikian ini penulis bermunajat kepada Allah SWT, semoga penulisan Karya Tulis ini menjadi amal yang di ridhoi dan menjadikan bermanfaat bagi orang yang membacanya.



i
 

DAFTAR ISI


KATA PENGANTAR ................................................................................................. i
DAFTAR ISI ............................................................................................................... ii
BAB     I   PENDAHULUAN .................................................................................... 1
1.1 Latar Belakang Masalah ...................................................................... 1
1.2 Rumusan Masalah ................................................................................ 1
1.3 Tujuan................................................................................................... 1
1.4 Sistematika Penulisan .......................................................................... 2

BAB    II   PEMBAHASAN
2.1  Mendidik Untuk Sukses................................................................ ....... 3
2.2  Menciptakan Masyarakat atau Sekolah untuk Mendidik
Anak Sukses Masa Depan.......................................................... ....... 3
2.3  Tujuan Pendidikan (Iman, Taqwa) dan Civic Education..................... 3
2.4  Pendidikan Agama Untuk Perbaikan Hidup........................................ 5
2.5  Pendidikan Agama, Etika Sosial dan Perilaku Sehari-hari................... 5
2.6  Pembiasaan yang Perlu Diwujudkan.................................................... 6
2.7  Membiasakan Berpikir Kritis dan Inovatif........................................... 6
2.8  Empat Aspek, Reading, Writing, Speaking & Listening...................... 7
2.9  Mati Kita Menghargai Guru................................................................. 8
2.10    Peran dan Tanggung Jawab Para Pendidik........................................ 8
2.11    Sharing Experience.......................................................................... 10
2.12    Kepala Sekolah / Madrasah............................................................. 11
2.13    Hubungan Madrasah dengan Orangtua Murid................................ 11
2.14    Hubungan Madrasah / Sekolah dengan Masyarakat........................ 11
BAB III   PENUTUP ............................................................................................... 10
A.    Kesimpulan ........................................................................................ 10
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................... 14



ii
 
 



MENDIDIK UNTUK SUKSES


Makalah 

Diajukan untuk memperoleh salah satu
Mata Kuliah Bahasa Indonesia







 















Disusun oleh :

HILMI MUHAMAD ZEIN
NPM. 11.110.0156







SEKOLAH TINGGI ILMU EKONOMI (STIE)
“YASA ANGGANA”
GARUT
2011